Blog
Makna Ayat Kedua Al-Fatihah dalam Tafsir At-Tanwir
- April 5, 2022
- Posted by: admin
- Category: News

Makna Ayat Kedua Al-Fatihah dalam Tafsir At-Tanwir, Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah.
PWMU.CO – Selama Ramadhan, ada program spesial di SD Muhammadiyah 2 GKB Gresik (Berlian School). Yaitu Kajian Tafsir at-Tanwir usai para guru dan karyawan menunaikan shalat Dhuhur berjamaah.
Kajian itu dimulai sejak Senin (4/4/22). Pada kajian perdana, Muhammad Taufiq MPdI—Wakil Kepala Bidang Umum—membedah tafsir al-Fatihah ayat 1, “Bismillahirrahmanirrahim.”
Kini, giliran Aditama SPdI—Wakil Kepala Bidang Pembiasaan dan Pembinaan Karakter—yang melanjutkan kajian tafsir al-Fatihah ayat selanjutnya, Selasa (5/4/22). Ayat kedua: “Alhamdulillahirabbilalamin”.
Sebelum memaparkan tafsir ayat kedua, terlepas beda pendapat yang beredar di kalangan ulama apakah 7 ayat al-Fatihah itu dimulai dari bismillahirahmanirahim ataukah alhamdulillahirabbilalamin, Adi—sapaan akrab Aditama—menyatakan, keduanya memberikan ilmu karena sama-sama memilki dasar.
Pengatur Alam Semesta
Aditama lantas menerangkan, ayat kedua terdiri dari alhamdu memiliki makna hamdan, hamidah, dan ahmad yang berarti segala puji. Kemudian, ada kata lillah (hanya kepada Allah). Selanjutnya, kata Rabb (Tuhan) dan al-alamin (alam semesta).
“Di situ ada Allah, lalu dipertegas lagi ada Rabbil alamin. Kalau ada kata yang bergandengan dan bersamaan, itu berarti ada maksud khusus. Ada Dzat yang Rabbil alamin,” urainya.
Adi menjelaskan, kata Rabb—pada ayat kedua surat al-Fatihah—selain bermakna Tuhan sebagai pencipta dan pemelihara, juga bermakna sebagai pengatur alam semesta dan yang mengakhiri kehidupan di dunia ini.
Berbekal buku Tafsir at-Tanwir oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Adi mengungkap, Allah mencipta kehidupan di alam semesta ini dengan rancangan yang agung, bukan tercipta seperti gambaran teori evolusi ataupun secara kebetulan saja.
Untuk itu, Adi menekankan, sepatutnya kita menyanjung Allah sebagai Tuhan semesta alam. “Allah yang memelihara, mendidik, mengayomi semua yang ada, maka kita harus memuji Allah sebagai hamba-Nya,” tuturnya.
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya itu menegaskan, “Inilah Allah yang janjinya pasti terjadi dan akan terlaksana, tidak ada yang batil.”

Janji Allah Itu Pasti
Dia menyatakan, kadang ikhtiar manusia menjadikan keimanannya justru menurun. Yaitu ketika manusia sudah berikhtiar di ambang batas maksimalnya, tetapi hasilnya tidak sesuai yang dia harapkan.
“Jika menghadapi kondisi itu biasanya sedikit mengeluh, bahkan sedikit protes. ‘Kenapa saya sudah berikhtiar lebih dari itu kok nggak bisa?’,” ujarnya.
Adi meyakinkan, jika itu terjadi, Allah nanti akan memberikan ganti. “Janji itu pasti terlaksana, tapi menunggu waktu yang tepat bagi kita. Seringnya kita egois. Seperti anak kecil. Kalau mintanya sekarang ya harus terwujud sekarang,” ungkapnya.
Dia mengumpamakan, orangtua biasanya tidak memberi HP ke anaknya pada saat tertentu, tapi membolehkan di waktu lainnya yang dinilai lebih tepat. “Apakah kita termasuk manusia yang kadang seperti anak kecil ketika berdoa kepada Allah? Kalau belum dikabulkan, sedikit emosi atau nggerundel,” tanya Adi.
“Kenapa saya sudah shalat Dhuha, Tahajjud, begini, begitu, tapi Allah belum menurunkan yang kita inginkan?” imbuhnya.
Adi yakin, kalau manusia mampu menancapkan diri di Rabbul alamin, maka akan menjadi kuat dan akan meraih takdir Allah itu.
Ikhtiar Bernilai Ibadah
Di Aula Berlian School siang itu, Adi juga mengajak para guru dan karyawan merenung. “Kita sebagai manusia kadang menyepelekan hal-hal sederhana. Kita mungkin jarang berpikir kita ini diciptakan untuk apa,” ujarnya.
Untuk menjawab itu, Adi mengimbau, “Kita bisa melihat diri sendiri, bisa melihat lewat cermin. Keberadaan kita diawali dengan apa,” lanjutnya.
Kalau Allah tidak berkehendak, kata Adi, pertemuan sel telur dan sel sperma yang merupakan awal mula terciptanya kita itu sekadar proses alamiah saja. “Kalau Allah sudah berkehendak, maka terjadilah!” imbuhnya.
Adi menekankan, proses itu hanya sebagian ikhtiar, sedangkan takdir akan bernilai ibadah. “Walaupun nantinya ikhtiar tak bisa merubah takdir kita, maka ikhtiar itu menjadi amal shalih buat kita semua,” sambungnya. (*)